Entri Populer

Blog Archive

Kamis, 01 November 2012

Sinopsis Film Perahu Kertas

[Resensi] Perahu Kertas : Radar Neptunus Tidak Bekerja Di Sini

Perahu Kertas
Mengadaptasi sebuah novel menjadi sebuah film adalah suatu usaha yang riskan. Di satu sisi bila kita bicara dari perspektif pemasaran, film yang diangkat dari novel berpotensi untuk menggaet penonton. Terlebih bila novel yang diadaptasi memiliki penggemar dalam jumlah masif. Artinya terdapat peluang untuk filmnya ditonton oleh para penggemarnya.

Namun dari persepektif filmnya sendiri, upaya mengadaptasi sebuah novel "besar" juga berpeluang untuk untuk menuai kecaman. Alasannya, penonton potensial yang notabene pembaca novelnya akan membandingkan apa yang ada di novel dengan di filmnya. Para pembaca novel memiliki imajinasi tersendiri terhadap halaman demi halaman novel yang divisualisasikan. Repotnya, setiap pembaca punya imajinasi masing-masing di benaknya.

Bisa dikatakan usaha adaptasi sebuah novel ke bentuk film adalah loose-loose situation. Peluang untuk untung sama besar dengan peluang untuk dicaci-maki.

Jika ditilik secara statistik, kebanyakan film adaptasi sebuah novel laris juga sukses di pasaran. Contohnya adalah Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Ayat-Ayat CInta atau yang rilis tahun ini Negeri 5 Menara.

Tidak heran bila para produser melihat film adaptasi novel menjadi terlalu "seksi" untuk diabaikan. Dan hal ini kemudian terjadi pada Perahu Kertas.

Cerita Perahu Kertas sebenarnya sederhana. Menuturkan kepelikan kisah cinta antara seorang gadis dan seorang pemuda, yang kemudian terlibat intrik asmara dengan karakter lain. Sama seperti kisah cinta di novel remaja umumnya.

Penulis sendiri tidak terlalu tertarik membaca literatur kisah asmara remaja, namun berbeda dengan Perahu Kertas karya Dewi "Dee" Lestari ini.

Yang membuat Perahu Kertas unik adalah dua karakter utamanya, Kugy dan Keenan. Mereka bukan "remaja" biasa. Mereka berdua adalah karakter yang unik.

 Kugy percaya bahwa ia adalah utusan Dewa Neptunus dan  memiliki kekuatan telepati "radar Neptunus". Dari cita-citanya saja ia sudah unik, Kugy ingin menjadi "penulis dongeng".  Untuk menambah keunikan, Kugy gemar berdandan unik (kalau tidak mau dibilang nyeleneh), memakai jam tangan Kura-Kura Ninja, serta menggemari musik pop alternative 80 dan awal 90'an. Suatu pilihan yang tidak lazim di lingkungannya.
Keenan pun tidak kalah uniknya. Pemuda ini dibesarkan di lingkungan mapan, namun cenderung berjiwa indie. Ayahnya ingin melihatnya sebagai seorang ahli ekonomi dan pengusaha, Keenan lebih memilih menjadi seniman lukis. Persamaan terbesar Kugy dan Keenan yang lantas membuat mereka terkait secara emosi adalah cara mereka memandang dunia. Mereka sama-sama cenderung anti sosial.

Karakter Kugy-Keenan di novelnya sangatlah kuat, sehingga karakter lainnya menjadi pelengkap saja. Karakter seperti Remi, Wanda, Luhde, Eko, Noni ataupun Pak Wayan (mentor melukis Keenan) memang hadir dan mewarnai kehidupan mereka. Karakter lain hanyalah ornamen.

Novel Perahu Kertas juga menjadi menarik karena juga menuturkan tentang eksistensi diri. Tentang bagaimana sebuah takdir harus dikejar atau ditunggu, tentang pameo klasik "jodoh sudah dituliskan oleh Tuhan" dan tentang pertanyaan mungkinkah idealisme bertemu dengan realitas.

Kisah yang sebenarnya klise dituturkan secara dewasa lengkap dengan dialog-dialog personal yang menggugah emosi pembacanya. Tidak heran bila pembaca Perahu Kertas kebanyakan berasal dari orang-orang berusia 20 tahun ke atas. Rentang usia yang sudah lebih dewasa dalam memaknai sebuah peristiwa.

Lantas tantangan terbesar dari usaha mengadaptasi sebuah novel yang besar oleh karakter adalah bagaimana menemukan aktor/aktris yang bisa memenangkan imajinasi terliar para pembacanya. Tantangan kedua adalah bagaimana memindahkan novel yang sudah memiliki penuturan filmis seperti Perahu Kertas menjadi film yang bisa dinikmati oleh semua pihak.

Bukan perkara mudah bagi pihak yang membesut filmnya memang.

Hanung Bramantyo adalah seorang sutradara kawakan Indonesia yang memiliki rekam jejak bagus. Hanung terkenal mampu membuat sebuah film yang bisa berkompromi secara kualitas dan komersil. Ia pun berpengalaman mengadaptasi sebuah novel menjadi film, sesuatu yang pernah dilakukannya di Jomblo, Ayat-ayat Cinta ataupun Perempuan Berkalung Sorban. Film-film itu terbilang memuaskan.
Hanung juga dikenal piawai mengangkat aktor-aktris yang bekerjasama dengannya ke suatu tingkatan akting lebih tinggi. Suatu nilai tambah dalam mengadaptasi Perahu Kertas, sebuah novel yang seperti dikatakan di atas besar karena karakternya.

Adaptasi Perahu Kertas semakin menjanjikan saat Dewi "Dee" Lestari, turun tangan langsung untuk menuliskan naskahnya.

Meski ditopang oleh dua orang berbakat,  harus dikatakan Perahu Kertas tampil mengecewakan sebagai sebuah adaptasi novel.

Alih-alih melakukan adaptasi novel secara bebas, Perahu Kertas disajikan tumplek-blek sama persis dengan novelnya, terutama secara kronologis dan seting waktu. Sesuatu yang terasa panjang hingga akhirnya perlu dibagi menjadi dua film.

Kugy diperankan oleh Maudy Ayunda (Tendangan Dari Langit, Untuk Rena, Malaikat Tanpa Sayap). Sementara Keenan diperankan oleh Adipati Dolken (Malaikat Tanpa Sayap).
Kugy sama seperti novelnya adalah seorang gadis muda nyeleneh dan berjiwa seni. Ia berpacaran dengan Ojos (Dion Wiyoko) sedari SMU.

Selepas SMU, Kugy diterima di sebuah universitas di Bandung, di mana ia kembali bertemu dengan teman akarabnya, Noni (Sylvia Fully R), dan kekasih Noni yang bernama Eko (Fauzan Smith).
Mereka bertiga bersahabat dan dunia Kugy terasa aman-aman saja, hingga hadirnya sepupu Eko yang bernama Keenan.

Keenan layaknya seorang "alien" yang mampu mengusik kelembamam Kugy di zona nyamanya. Kugy merasa "radar Neptunus"-nya bekerja maksimal saat bersama Keenan, pun sebaliknya.

Kugy  dan Keenan merasa mereka saling melengkapi secara emosi dan mereka punya begitu banyak kesamaan. Keenan yang pelukis merasa klop dengan Kugy yang pendongeng.  Namun. alih-alih berbicara terus terang akan ketertarikan masing-masing, mereka merasa terkungkung oleh batasan persahabatan di antara mereka.

Sampai suatu ketika datanglah karakter Wanda (Kimberly Ryder) di tengah kehidupan Kugy, Keenan, Noni dan Eko. Wanda yang merupakan pengelola sebuah galeri lukisan, dianggap sebagai wanita yang cocok dengan Keenan oleh Noni dan Eko.

Makin masuknya Wanda ke kehidupan mereka, membuat Kugy memilih untuk menyingkir. Menyingkirnya Kugy menjadi awal dari konflik di antara para karakter di film ini. Hubungan antara Keenan-Wanda, ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hubungan antara Kugy-Noni-Eko pun demikian.
Perjalanan waktu membuat Keenan pun memilih jalan yang sama dengan Kugy, memencilkan diri dari lingkar persahabatan mereka. Kugy memilih jalan sendiri, Keenan memilih jalan sendiri.

Kugy lantas berhasil menamatkan kuliah dan bekerja di perusahaan iklan bernama Avocado. Di sini ia bertemu Remi (Reza Rahadian), pimpinan yang kemudian mencoba memikat hati Kugy.

Keenan pun memilih bermukim di Bali, sembari menelusuri mimpinya menjadi pelukis di galeri milik Pak Wayan (Tio Pakusadewo). Di Bali, Keenan pun bertemu dengan Luhde (Elyzia Mulachela), seorang gadis Bali yang coba memahami Keenan.

Akan tetapi meski terpisah jarak dan waktu, radar Keenan-Kugy tak melemah. Keenan tak pernah menyangka lukisannya yang dibeli Remi, masih akan menghubungkan emosinya dengan Kugy.
Pun meski Kugy menerima cinta Remi dan Keenan mencoba menjajaki hati Luhde, takdir mempertemukan mereka di pesta pernikahan Noni-Eko.

Dan di sinilah akhir bagian pertama film ini.
 
Still photo Perahu Kertas (courtesy Starvision, Bentang Pictures & Dapur Film)
SETIA DENGAN NOVELNYA, NAMUN GAGAL DI PEMERAN UTAMANYA
Hanung Bramantyo mencoba bermain "aman" dalam menyajikan Perahu Kertas ke rupa gambar gerak. Hanung, berdasarkan skenario yang langsung ditulis Dee, menampilkan rangkaian kronologi perisiwa di filmnya secara runut, linear dan relatif setia dengan novelnya.

Kesetiaan Dee terhadap novelnya, di beberapa adegan harus "tunduk" kepada sang sutradara. Hanung memasukan beberapa humor dan ciri khasnya di dalam film ini.
Penampilan cameo Hanung sebagai kurator lukisan bergaya kemayu, misalnya. Atau sempilan kemunculan para pengamen jalanan, menyanyikan sepenggal lirik lagu yang mengiringi momen di beberapa perpindahan scene.

Hanung juga mengintepretasikan beberapa karakter hingga memberikan ruang humor di dalamnya. Sebuah tindakan utnuk membuat film ini menjadi lebih segar, karena karakter Kugy-Keenan dalam film ini memang dipasang "serius" dan kontemplatif.

Misalnya pada karakter Eko yang diperankan oleh Fauzan Smith. Berdasarkan intepretasi Hanung, karakter Eko adalah seorang pemuda keturunan Arab-Betawi dengan perwatakan ngebanyol. Dalam novelnya, Eko beserta pacarnya Noni, memang ditampilkan seoleh sebagai "punawakan" dalam ceritanya. Berfungsi untuk menjaga keseimbangan emosi dari konflik antara Kugy-Keenan.

Ditampilkannya Eko dalam sosok pemuda keturunan Arab-Betawi, memang tidak salah. Mengingat tidak ada penggambaran fisik secara detail untuk karakter Eko-Noni. Keputusan Hanung juga kemudian berujung kepada visualisasi adegan pernikahan bergaya Betawi-Arab. Di sisi ini Hanung berhasil memberikan sentuhannya.

Ironisnya, perhatian penonton (dan pembaca) kemudian teralihkan kepada Eko-Noni. Dan melupakan dua karakter utama Kugy-Keenan.

Permasalahan terbesar dari adaptasi Perahu Kertas ini memang kepada pemilihan Maudy Ayunda dan Adipati Dolken sebagai Kugy-Keenan.
Maudy terlihat tidak mampu menghadirkan Kugy, pun Adipati terlihat terlalu canggung berperan sebagai Keenan.

Maudy Ayunda tidak bisa menghadirkan jiwa "pemberontak" dan indie seorang Kugy dalam sosok manisnya. Maudy terlalu manis untuk memerankan karakter sekompleks Kugy. Dalam novelnya sendiri, Kugy adalah gadis aneh, sulit dimengerti, cenderung introvert, namun akan berbinar-binar bila diajak bicara mengenai dongeng. Kugy memiliki dualitas, berpikiran dewasa terkadang konyol. Dia terkadang aneh dan menyebalkan, namun mudah dicintai.

Maudy Ayunda tidak memiliki kualitas itu. Penampilan Maudy di film ini terlihat sama dengan penampilan di film-filmnya sebelum Perahu Kertas. Maudy justru menampilkan Kugy sebagai gadis yang terlihat manja kekanak-kanakan, ditambah logatnya yang terkadang Inggris. Dialog yang terlontar pun tidak terlihat keluar dari sukma. Alih-alih tampil nyeni dengan "keanehannya", Maudy justru terlihat konyol sebagai Kugy dengan jam tangan Kura-Kura Ninja.


still photo Perahu Kertas (courtesy of Starvision, Bentang Pictures & Dapur Film)
Pun dengan Adipati Dolken sebagai Keenan. Alih-alih sebagai pemuda percaya diri dengan keputusannya, Adipati memperlihatkan Keenan sebagai pemuda ragu-ragu. Layaknya Kugy, Keenan memiliki kompleksitas dan dualitas di dirinya. Ia percaya diri, sekaligus rapuh. Ia menarik perhatian banyak orang, namun justru menarik dirinya dalam-dalam ke cangkang perlindungan dirinya.

Hal ini diperparah dengan tidak adanya koneksi emosi antara Maudy Ayunda sebagai Kugy dan Adipati Dolken sebagai Keenan. Pertemuan pertama kali mereka di stasiun kereta, justru menimbulkan tanda Tanya, apakah mungkin dalam sekejap Kugy jatuh cinta begitu dalam dengan seorang sosok pria tidak istimewa seperti Keenan versi Adipati?

Hanung pun memutuskan meniadakan adegan di novelnya, saat Kugy-Keenan-Noni-Eko terlibat suatu permainan seperti truth or dare. Padahal momentum inilah yang membuat Kugy dan Keenan saling menyelami pribadi masing-masing untuk pertama kalinya.

Di film, Kugy-Keenan ditampilkan langsung terlibat percakapan soal mimpi, eksistensi dan pilihan hidup. Sebuah topik yang dirasa akan mustahil dibicarakan oleh dua orang yang baru mengenal. Tidak ada momen pembuka untuk mencapai fase itu, dalam hal ini adegan bermain truth or dare. Hasilnya, pertautan emosi Kugy-Keenan tidak tercipta yang berimbas kepada penonton yang juga tidak merasakannya.
Hal yang sangat beresiko untuk menghadirkan sebuah novel sama persis dengan runutan kejadian di filmnya. Pilihan untuk meniadakan beberapa momentum, bisa terjebak kepada penghilangan adegan yang bisa menjembatani sebuah momentum penting selanjutnya.

Terlebih bahasa film yang mengharuskan penggunan seluruh indera, berbeda dengan bahasa novel yang hanya bahasa verbal.
Hanung terasa tidak percaya diri untuk menyentuh karakter Kugy-Keenan. Maudy Ayunda dan Adipati Dolken seolah dilepas menerjemahkan sendiri seperti apa Kugy dan seperti apa Keenan. Hanung terasa justru lebih berani bereksperimen dengan para karakter pendukung seperti Luhde, Eko, Noni ataupun Remi.

Hasilnya Maudy tetap tampil sebagai Maudy yang selama ini kita lihat, Adipati Dolken pun begitu.
Kesetiaan Hanung kepada novelnya, juga berimbas pada tone filmnya. Film ini terasa amat lamban dan panjang, serta datar. Penulis merasa beberapa kali mengantuk, hingga akhirnya karakter Eko dan Noni muncul di layar.

Kesetiaan Hanung pada runutan kejadian Perahu Kertas juga berimbas kepada departemen kamera yang ditangani oleh Faozan Rizal.
Faozan Rizal yang biasanya berani bermain dengan angle-angle tajam dan gerak dinamis, tampak hanya merekam setiap kejadian di film ini. Terasa sangat datar dan hambar. Gambar dan warna indah tetap dihadirkan Faozan Rizal, tetapi hanya sekadar indah tanpa emosi.

Hadirnya lagu dalam film ini juga tidak banyak membantu. Bukan menambah estetika, harus diakui hadirnya lagu di beberapa adegan terasa berlebihan dan membuat film menjadi cerewet.
Misalnya sebuah adegan Maudy Ayunda sebagai Kugy diperlihatkan sedang bimbang dan sedih akan pilihan sulit di depannya. Apakah tidak cukup dengan bahasa akting untuk memperlihatkannya, sehingga harus menambahkan sebuah lagu bernada melankolis?

 
Still photo Perahu Kertas (Courtesy of Starvision, Bentang Pictures & Dapur Film)

PERAHU YANG KEHILANGAN NAHKODA DAN PENUNJUK ARAH
Judul Perahu Kertas itu tidak tanpa arti.
Perahu Kertas dalam novelnya menjadi penanda kejadian. Di saat Kugy gundah menghadapi sebuah peristiwa besar, ia memilih untuk mencoretkan kegundahannya ke atas kertas untuk kemudian dibentuk menjadi sebuah perahu yang dilarungkan di aliran air.

Di film hal ini tidak menjadi hal krusial, seolah menjadi tempelan di pembuka saja. Hanung tidak mengeksplorasi ini menjadi lebih dalam dan ini sangat disayangkan.

Versi filmnya sendiri terasa tidak mengalir seperti novelnya. Filmnya lebih terasa mengambil cuplikan-cuplikan adegan di novelnya, untuk kemudian ditampilkan dalam sebuah kolase. Tidak ada emosi yang merekatkan semua itu.

Ibarat sebuah perahu, film ini sudah kehilangan dua awak penting. Satu nahkoda dan penunjuk arah, dalam hal ini keduanya diwakilkan oleh Keenan sebagai nahkoda dan Kugy sebagai pemandu arah. Pembaca dan penggemar novelnya tidak percaya dengan kedua pemerannya. Apa jadinya bila penumpang sebuah perahu tidak percaya dengan dua kru penting perahu itu?

Bahkan "radar Neptunus" pun tidak mampu menyelamatkan film ini.

Pembaca dan penggemar novelnya akan tidak peduli lagi dengan segala keindahan dan aspek teknis di filmnya. Juga tidak peduli apakah film ini akan dilanjutkan di bagian keduanya nanti.

Pembagian fim ini menjadi dua juga dirasakan sebagai hal yang janggal. Perahu Kertas adalah drama percintaan yang dirasakan terlalu datar. Adegan akhir di film pertamanya, sudah pas sebagai penutup. Bagi penonton awam pun, film ini sudah berakhir.

Bagi pembaca novelnya, untuk apa menanti sebuah kelanjutan film di mana mereka sudah tidak percaya dengan para pemerannya?

Tapi bila dipandang dari perspektif remaja yang gemar menonton film bertema "percintaan" ringan, maka mungkin akan cukup terhibur dengan film ini. Perahu Kertas kemungkinan besar akan berhasil memukau penonton remaja, karena memang film ini menjadi sangat ringan. Seringan kertas.
.Dan ini adalah foto-foto nya :





Tidak ada komentar:

Posting Komentar